GENDER AWARE THERAPY (GAT) SEBAGAI TEKNIK KONSELING PERSPEKTIF
GENDER DALAM MENGATASI BIAS GENDER
Disusun
untuk memenuhi tugas mata kuliah Konseling Multibudaya
yang
diampu oleh Dr. Carolina Ligya Radjah, M.Kes
Disusun
oleh :
Ike
Kurnia Ani Khusana NIM.
160111801388
Ujang
Abdul Basir NIM.
160111801171
UNIVERSITAS
NEGERI MALANG
FAKULTAS
ILMU PENDIDIKAN
PROGRAM
PASCASARJANA
PROGRAM
STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING
SEPTEMBER
2016
GENDER AWARE THERAPY (GAT) SEBAGAI TEKNIK KONSELING PERSPEKTIF
GENDER DALAM MENGATASI BIAS GENDER
A. PROBLEM
SENSING
Hubungan
sosial antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai bidang kehidupan pada
umumnya menunjukan hubungan yang sub-ordinasi yang artinya bahwa kedudukan
perempuan lebih rendah bila dibandingkan dengan kedudukan laki-laki. Pembedaan peran, fungsi dan tanggung jawab laki-laki
dan perempuan dalam konteks sosial pada dasarnya tidak dipermasalahkan, namun
ketika dicermati lebih dalam dapat menjadi penyebab munculnya ketidaksetaraan
gender, yakni salah satu jenis kelamin terabaikan hak dasarnya, tertinggal dan
mengalami masalah ketidakadilan.
Menurut Nurhaeni (2009) ketidaksetaraan gender adalah
perlakuan diskriminasi atau berbeda yang diterima perempuan atau laki-laki. Ketidaksetaraan
gender adalah ketidakadilan bagi perempuan atau pun laki-laki berdasarkan
sistem dan struktur yang ada. Ketidakadilan gender merupakan sistem dan
struktur dimana kaum laki-laki dan perempuan menjadi korban dari sistem
tersebut. hal itu termanifestasi dalam bentuk marjinalisasi, subordinasi,
kekerasan, stereotip dan beban kerja yang telah terjadi diberbagai tingkat di
masyarakat (Fakih,2008). Konstruksi sosial gender yang ada di dalam masyarakat
dapat menjadi masalah dibidang pendidikan apabila terdapat persoalan
kesenjangan antara perempuan dan laki-laki baik dalam hal akses, partisipasi,
kontrol, dan manfaat pendidikan (Kemendiknas, 2010: 41)
Dalam
bidang pendidikan khususnya konseling sering kita jumpai adanya bias gender
dalam pelaksanaan bimbingan maupun konseling. Bias gender adalah keadaan yang menunjukkan sikap berpihak lebih pada
laki-laki dari pada wanita sehingga menimbulkan adanya ketidakadilan gender dan
ketidaksetaraan gender (Saroha, 2009). Dalam segi perundang-undangan UUD
1945 mengamanatkan, bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai hak dan kewajiban
yang sama dalam pembangunan, termasuk pembangunan di bidang pendidikan
Sedangkan pada Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang
memuat pasal-pasal yang mendukung kesetaraan pendidikan yang menjamin hak perempuan
untuk memperoleh pendidikan, dalam pasal 48: “wanita berhak memperoleh pendidikan
dan pengajaran di semua jenis, jenjang dan jalur pendidikan sesuai dengan persyaratan
yang telah ditentukan”. Namun pelaksanaan pembangunan nasional khususnya di
bidang pendidikan selama ini masih terdapat kesenjangan partisipasi antara
perempuan dan laki-laki. Menurut Menneg Pemberdayaan Perempuan, bahwa sampai
dengan tahun 2009, rata-rata lama sekolah perempuan sekitar 6,5 tahun dan
laki-laki 7,6 tahun. Hingga tahun 2010 perempuan buta aksara usia 15 tahun
keatas mencapai 13,84% sedangkan laki-laki 6,52%.
Dari
data tersebut dapat disimpulkan bahwa terjadi ketidaksetaraan gender dalam
bidang pendidikan. Mengingat permasalahan gender ini sering menimbulkan dampak
yang kurang diharapkan baik di kaum laki-laki utamanya di kaum perempuan maka
saat ini kita perlu mengubah stereotip terutama dalam bias gender agar pola
pikir yang dihasilkan tidak menjadi diskriminasi pada tiap-tiap elemen. Sosok
utuh seorang konselor yang tugasnya sebagai penolong manusia yang mendapati
kesenjangan dalam hidupnya tentu dalam menyikapi hal seperti ini harus sudah
mulai meninggalkan stereotip yang berada di masyarakat selama ini dalam
memandang gender yang menjadi
konselinya. Seorang konselor harus benar-benar mampu menjalankan proses
konselingnya secara netral dan profesional baik itu dalam pelayanan ataupun
dalam memberikan asumsi terhadap konselinya. Mengingat akan sensitifnya
permasalahan gender yang dikontruksikan dalam sistem sosial dan budaya maka
Pedersen mengemukakan lima macam sumber hambatan yang mungkin timbul dalam
komunikasi sosial dan penyesuaian diri antarbudaya, yaitu: perbedaan bahasa,
komunikasi verbal, strereotipe, kecenderungan menilai dan kecemasan
(Sutirna, 2013:45).
B. PROBLEM
EKSPLORATION
Dalam lingkup bimbingan dan konseling, hubungan timbal balik
antara konselor dan konseli sering terjadi dalam proses konseling. Khususnya
pada hubungan laki-laki dan perempuan. Menurut Rochman Natawidjaja, (1987:32), konseling
adalah sebagai hubungan timbal balik antara dua individu, dimana yang seorang
(konselor) berusaha membantu yang lain (konseli) untuk mencapai pengertian
tentang dirinya sendiri dalam hubungan dengan masalah-masalah yang dihadapi
pada waktu yang akan datang. Sehingga dalam konseling dibutuhkan kesadaran yang
lebih antara konseli dan konseli.
Dalam proses konseling sering kita ketahui adanya bias
gender dalam pelaksanaannya. Contohnya, konselor laki-laki yang lebih dominan
kepada konseli perempuan, dan sebaliknya. Adapula konseli yang lebih dominan
kepada konselor perempuan. Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa adanya ketidaksetaraan
antara perempuan dan laki-laki. Dalam bidang pendidikan proses dan institusi pendidikan dipandang berperan besar dalam
mensosialisasikan dan melestrikan nilai-nilai dan cara pandang yang mendasari
munculnya berbagai ketimpangan gender dalam masyarakat. Secara garis besar,
fenomena kesenjangan gender dalam pendidikan dapat diklasifikasi dalam beberapa
dimensi, antara lain:
1.
Kurangnya
partisipasi (under-participation).
Dalam hal partisipasi pendidikan, perempuan di seluruh dunia menghadapi problem yang sama. Dibanding lawan
jenisnya, partisipasi perempuan dalam pendidikan formal jauh lebih rendah.
2.
Kurangnya
keterwakilan (under-representation).
Partisipasi perempuan dalam pendidikan sebagai tenaga pengajar maupun pimpinan
juga menunjukkan kecenderung disparitas progresif. Jumlah guru perempuan pada
jenjang pendidikan dasar umumnya sama atau melebihi jumlah guru laki-laki.
Namun, pada jenjang pendidikan lanjutan dan pendidikan tinggi, jumlah tersebut
menunjukkan penurunan drastis.
3.
Perlakuan
yang tidak adil (unfair treatment). Kegiatan pembelajaran dan proses interaksi dalam kelas seringkali
bersifat merugikan murid perempuan. Guru secara tidak sadar cenderung menaruh
harapan dan perhatian yang lebih besar kepada murid laki-laki dibanding murid
perempuan. Para guru kadangkala cenderung berpikir ke arah “self fulfilling prophecy” terhadap
siswa perempuan karena menganggap perempuan tidak perlu memperoleh pendidikan
yang tinggi.
4.
Dimensi akses adalah fasilitas pendidikan yang sulit dicapai atau
kesempatan untuk menggunakan sumber daya tanpa memiliki otoritas untuk
memutuskan terhadap produk/hasil maupun metode pendayagunaan sumber daya
tersebut. Faktor penyebabnya antara lain: kurang tersedianya sekolah menengah
di setiap kecamatan, jarak yang jauh dari tempat tinggal, beban tugas rumah
tangga yang banyak dibebankan pada anak. Akumulasi dari faktor-faktor ini
membuat banyak anak-anak yang cepat meninggalkan bangku sekolah.
5.
Dimensi proses pembelajaran adalah materi pendidikan seperti misalnya
yang terdapat dalam contoh-contoh soal dimana semua kepemilikan selalu
mengatasnamakan laki-laki. Dalam buku-buku pelajaran seperti misalnya semua
jabatan formal dalam buku seperti camat dan direktur digambarkan dijabat oleh
laki-laki. Selain itu ilustrasi gambar juga bias gender, yang seolah-olah
menggambarkan bahwa tugas wanita adalah sebagai ibu rumah tangga dengan
tugas-tugas menjahit, memasak dan mencuci. Faktor penyebabnya stereotype gender.
6.
Dimensi penguasaan adalah kemampuan yang dimiliki seseorang untuk
memajukan peranannya dalam masyarakat. Faktor penyebabnya pemanfaatan yang
minim, peran yang tidak terserap oleh masyarakat dan masih berpegang pada
nilai-nilai lama yang tidak terreformasi. Contohnya saja buta huruf yang
didominasi oleh kaum perempuan.
7.
Dimensi kontrol adalah kemampuan atau otoritas untuk memutuskan
menggunakan produk atau hasil, bahkan juga untuk menentukan metode
pendayagunaannya, sehingga memiliki kekuatan untuk mendapatkan keuntungan dari
sumber daya tersebut. Faktor penyebabnya tidak memiliki otoritas atau kemampuan
untuk menggunakan maupun mendayagunakan sumber daya.
8.
Dimensi manfaat adalah sesuatau yang baik untuk didapatkan atau diterima oleh seseorang dari proses penggunaan atau mendayagunakan sumber daya. Faktor
penyebabnya dimensi akses, kontrol, maupun partisipasi yang didapatkan kecil.
C. PROBLEM
POSING
Adanya
bias gender dalam dunia pendidikan mengakibatkan pembangunan nasional tidak
merata karena terjadi ketidakseimbangan antara laki-laki dan perempuan. Bahkan
dalam bidang bimbingan dan konseling, bias gender antara konselor dan konseli
masih sering dijumpai sehingga terjadi permasalahan dalam proses konseling.
Sehingga ada beberapa poin permasalahan yang penting yang akan dikaji. Adapun
poin-poin tersebut antara lain 1) bagaimana ketidaksetaraan gender bisa terjadi
2) apa peran konselor dan upayanya dalam menangani bias gender dalam proses
konseling
D.
PROBLEM SOLVING
Adanya
stereotipe terhadap perbedaan gender dan peran dari gender itu sendiri
mengakibatkan ketidakadilan gender yang sampai saat ini masih kita rasakan.
Maka dalam mengantisipasi keberlangsungan stereotipe negatif yang dibangun
dalam memposisikan gender selama ini, mulai dari sekarang harus sudah dibenahi
pola pikirnya agar tidak ada lagi Hak Asasi Manusia yang terdeskriminasi. Lebih
urgent lagi bagi konselor yang tugasnya sebagai penyelamatan terhadap
problematika kehidupan manusia sudah sepantasnya pelayanan konseling yang
dijalankan sudah tidak lagi bercermin pada stereotipe negatif terhadap
perbedaan gender itu. Oleh karena itu saat ini sudah ada paradigma konseling
berbasis gender seperti Gender aware therapy.
Adanya
ketidakseimbangan peran dan fungsi gender antara laki-laki dan perempuan,
kemudian lahirnya feminist counseling dan Gender aware therapy. Perkembangan
gender aware therapy ditandai dengan berkembangnya terapi feminis (feminist
therapy). Terapi feminis berkembang dari teori-teori feminisme yang berakar
dari gerakan feminisme. Gerakan feminisme mendasari upaya mengeliminasi
bias dan stereotype gender. Sebagai sebuah konsep yang dikembangkan pada tahun
1990-an, GAT mendorong konselor untuk memfasilitasi, mengeksplorasi,
pengembangan, pemahaman tentang relasi gender.
Perkembangan
terapi feminis dipandang tidak memfasilitasi isu-isu gender karena masih
difokuskan pada intervensi konseling bagi perempuan dengan kata lain tidak
aplikatif untuk konseli laki-laki (Good, et. al., 1990). Sementara itu tidak
ada teori yang dikembangkan untuk membahas maskulinitas yang paralel dengan
teori feminis. Gender aware therapy mengintegrasikan prinsip-prinsip terapi
feminis dengan pemahaman tentang gender untuk melakukan intervensi pada konteks
sosial, terlibat aktif dalam perubahan dan difokuskan pada kerjasama antara
konselor dengan konseli (Evans, 2005).
Jika
terapi feminis difokuskan pada kebutuhan perempuan maka GAT sebagai teknik konseling
untuk memfasilitasi individu secara non sexist. GAT sebagai sebuah teknik,
mengatur langkah-langkah konseling dalam mengatasi problem yang terkait dengan
gender. Strategi awal dalam teknik GAT adalah membangun pemahaman gender,
intervensi konseling bertujuan membantu individu untuk berubah sesuai dengan
konteks sosial. Untuk mengatasi problematika individu yang sensitif gender maka
gender aware therapy direkomendasikan dipakai untuk memberikan treatmen.
Berikut
prinsip gender aware therapy :
1. Mengintegrasi konsep gender dalam aspek konseling.
2. Mempertimbangkan problem individu
disesuaikan dengan konteks sosial.
3. Aktif membantu untuk mengubah pengalaman
individu atas ketimpangan gender yang dialami.
4. Menekankan kerjasama dalam konseling.
5. Menghormati individu dalam membuat
pilihan
Prinsip
gender aware therapy berkaitan erat dengan konselor dan proses konseling
dengan memfokuskan pada keadaan sosial, kebiasaan dan struktur pengembangan
individu pada keseluruhan tahap konseling. Jika pada pendekatan konseling lain
melakukan eksplorasi secara mendalam tentang problem dan kesulitan individu
sebagai komponen penting maka gender aware therapy dapat melakukan
eksplorasi jika keadaannya memungkinkan. Problem yang direkomendasi
diselesaikan dengan teknik gender aware therapy berkaitan dengan jenis
kelamin dan keluarga (laki-laki, perempuan, pasangan dan keluarga). Perbedaan
mendasar pada ketiga dimensi problem adalah pandangan masing-masing person
terhadap konsep gender. Hal ini akan berimplikasi pada karakteristik problem
yang dihadapi. Berikut tahap-tahap
dalam Gender Aware Therapy menurut Good, (1990:30):
1. Konseptualisasi problem
Asesmen awal pada pada konseling,
proses konseptualisasi sebagai upaya untuk memahami persepsi individu tentang
masalahnya (Good, 1990:34). Konselor menggunakan gender aware therapy untuk
membantu konseli memahami peran sosial gender yang selama ini dimainkan oleh
individu. Konseptualisasi problem difokuskan pada persepsi individu terhadap
masalah yang dihadapi terutama berkaitan dengan peran-peran gender yang selama
ini diyakini oleh individu. Pada tahap konseptualisasi masalah, konselor akan
memiliki informasi awal tentang individu khususnya problem berbasis gender.
2. Intervensi konseling
Rentang intervensi pada gender
aware therapy meliputi diskusi langsung, memberikan motivasi, memberi
klarifikasi, melakukan interpretasi, konfrontasi, memberi informasi,
eksperimentasi, modeling, terbuka, bibliotherapy dan dukungan dari kelompok. Konselor
membantu menginternalisasi pemahaman dan pandangan tentang stereotype gender dalam
pandangan laki-laki dan perempuan. Pengetahuan, pemahaman dan perspektif baru
individu tentang gender akan bermanfaat untuk memberi peluang melatih
keterampilan dan sikap dalam kehidupannya.
Setelah individu memiliki
pengetahuan, pemahaman dan pandangan baru tentang konsep gender melalui diskusi
maka individu didorong untuk melakukan eksplorasi, bagaimana implikasi
perubahan untuk mencegah problem sosial terkait dengan gender.
3. Terminasi
Konselor bertanggung jawab
mengenali perubahan konsep gender tradisional individu dan membantu untuk
belajar dari proses terbangunnya pengetahuan, pemahaman dan pandaingan baru
tentang konsep gender. Proses terminasi sebagai upaya untuk belajar memahami
perasaan, efikasi diri, percaya diri dan mengarahkan diri.
E.
REFLEKSION
Untuk mengurangi dan mencegah adanya
ketidaksetaraan gender yang menimbulkan bias gender dalam dunia pendidikan perlu
ditanamkannya pemahaman, polapikir, penanaman ideology gender yang setara dari
perempuan dan laki-laki, serta pemberian kesamaan perlakuan dalam proses
pendidikan/pengajaran, administrasi, dan pengembangan karir.
Sebagai seorang konselor harus
mampu menerima konseli dengan lapang dada dan terbuka, tidak mendriskriminasi
dan menolak konseli yang datang dan mengantisipasi keberlangsungan stereotipe
negatif yang dibangun dalam memposisikan gender selama ini, dan dengan dibenahi
pola pikirnya agar tidak ada lagi Hak Asasi Manusia yang terdeskriminasi. Dalam
penerapan proses konseling harus ditandai dengan adanya kerjasama antara
konselor dan konseli, karena keberhasilan proses konseling adalah komunikasi
antar konselor dan konseli. Dalam pelaksanaan konseling, konselor bisa
menggunakan konseling berbasis gender seperti gender aware therapy. Hoffman,
(2001:37) menjelaskan bahwa petunjuk efektif untuk melakukan konseling berbasis
gender yaitu sebagai berikut:
1) Konselor harus memahami isu gender;
2) Sikap konselor harus mendorong
terhadap proses sosialisasi kesetaraan gender. Sensitivitas gender dalam
konseling tidak hanya ditunjukkan dengan sikap empatik dan fleksibilitas
konselor tetapi membantu konseli untuk membangun konsep tentang ekosistem gender,
proses sosialisasi gender, konsep androgyny secara umum dan hubungannya dengan
gender.
DAFTAR RUJUKAN
Corey,
Gerald. (2009). Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy. Eighth
Edition. Belmont, CA. Brooks/Cole.
Evans,
Kathy M., Kincade, Elizabeth A., Marbley, Aretha F, dan Seem, Susan R. (2005).
Feminism and Feminist Therapy : Lessons From the Past and Hopes for the Future.
Journal of Counseling and Development : JCD. Research Library
Good,
Glenn E; Gilbert, Lucia A; Scher, Murray. (1990). Gender Aware Therapy: A
Synthesis of Feminist Therapy and Knowledge about Gender. Journal of Counseling
and Development : JCD; Mar 1990; 68, 4; Research Library. pg. 376. Online. http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1002/j.1556-6676.1990.tb02514.x/abstract.
Diakses tanggal 15 September 2016
Fakih,
M. 2008. Analisis Gender dan Transformasi
Sosial. Jakarta: Insist Press.
Kementerian
Pemberdayaan Perempuan. 2009. Beijing
Platform For Action.
Jakarta: Kementerian Pemberdayaan Perempuan
Nurhaeni,
I. D. (2009). Reformasi Kebijakan Pendidikan
Menuju Kesetaraan dan
Keadilan Gender. Surakarta: UNS Press.
Natawidjaja,
Rachman. 1987. Konseling untuk Memecahkan
Masalah. Bandung:
Mandar
Maju
Rusdiana.
2014. Gender dalam Komunikasi
Interpersonal. Online. http:/// Gender
dalam Komunikasi Interpersonal.com diakses tanggal 15 September 2016
Sutirna. 2013. Bimbingan dan Konseling. Yogjakarta: CV. Andi Offest
Wayanarmini.
2015. Bias Gender. Online.
http:///BIAS%20GENDER%20_%20Wayanarmini's%20Blog.html.
Diakses tanggal 15 September 2016
Komentar
Posting Komentar