ISTRI KAYU PUTIH
Oleh: Prof Dr Moh Ali Aziz, M, Ag
Penulis Buku 60 Menit Terapi Shalat Bahagia
Sebelum membaca artikel ini, saya
mengingatkan, “Jika Anda suami yang mudah tersinggung, Anda dilarang
keras membaca artikel ini”. April 2013 yang lalu, dua anak saya: ketiga
dan keempat ingin umrah dengan melintasi beberapa negara. Lalu saya
putuskan mengikuti Travel umrah profesional Nurul Hayat Surabaya.
“Asyik sekali,” kata mereka berdua ketika naik bus dari Singapore ke
Malaysia. Dalam hati saya, “Asyik bagi anak muda. Tapi bagi lansia yang
bertongkat dan beroda tentu bukan mengasyikkan, tapi melelahkan, karena
harus naik turun membawa kopor besar.” Anehnya, saya tidak melihat
tanda kesal pada wajah para lansia itu. Luar biasa. Setiap menghadapi
kesulitan dan kelelahan, mereka selalu berpikir positif, “Siapapun yang
umrah menuju Baitullah pasti diuji dengan berbagai macam cobaan.”
Dalam pesawat Saudi Airlines dari Johor
menuju Jedah itulah saya memperoleh pengalaman amat berharga. Saya
ditakdirkan Allah duduk di barisan kursi tengah, bersebelahan dengan
sepasang suami istri yang sama-sama berusia diatas 60-an tahun. Inilah
pengalaman terlama saya mencium bau minyak kayu putih: 8 jam lebih.
“Mama, tolong gosok yang ini. Terasa masuk angin,” kata sang suami
sambil menunjuk punggung kanan di bawah pundaknya. Istri yang setia itu
lalu mengosoknya pelan-pelan. Tidak lama kemudian, ia meminta lagi,
“Mama, ganti gosok leher saya, saya terasa mau muntah” Istri tetap
melayani permintaan sang suami dengan ikhlas.
Beberapa menit kemudian saya tertidur,
karena lelah melintasi dua negara melalui darat sebelumnya. Ketika
terbangun, bau minyak kayu putih ternyata masih menyengat, karena si
istri masih melanjutkan menggosokkan minyak itu. Semula di punggung dan
di leher, sekarang ganti di bagian kaki. “Ya itu mama, tekan agak keras
sedikit,” pinta sang suami sambil menyelonjorkan kakinya di pangkuan
istri. Menjalang turun di Jedah, saya masih melihat istri memegang botol
minyak kayu putih di tangan kiri dan tangan kanan memegang kaki sang
suami. Saya tidak tahu apakah selama dalam perjalanan delapan jam itu
tiada menit tanpa gosokan minyak atau hanya beberapa jam. Yang pasti
bagi saya, minyak itu menjadi saksi bakti istri kepada suami. Luar
biasa, saya yakin dialah yang termasuk reward Nabi SAW, “Siapapun wanita
yang meninggal, dan suaminya sedang bersuka hati atas kesetiaannya, ia
dijamin masuk surga.”
Masih banyak istri yang menunjukkan
kesetian seribu persen untuk suami. Anda mungkin pernah melihat istri
yang tidak tidur semalam karena sibuk menyiapkan segala sesuatu
keperluan suami yang akan pergi agak lama ke luar kota. Ia ingin
suaminya menikmati perjalanan jauhnya. Sedangkan sang suami- mungkin
Anda sendiri – tidur dengan pulas. Anda juga pernah melihat istri yang
berlari-lari mengejar suami yang akan memasuki mobilnya hanya karena
dasi yang dipakai kurang tepat pemasangannya. Ketika Anda tertawa riang
di tempat kerja, istri Anda di rumah justru sedang mengompres anaknya
dengan cemas karena panas badannya tidak menurun. Pengabdian istri
lebih-lebih dapat Anda lihat pada bulan suci Ramadlan. Pagi hari dimulai
dengan pertanyaan, “Makanan apa lagi yang paling disukai suami untuk
berbuka puasa?” Mereka juga tidak bisa tidur nyenyak karena takut
terlambat bangun untuk menyiapkan sahur sang suami. Ketika suami bangun
semua makanan sudah tersaji dengan hangat di meja makan.
Setelah melihat fenomena itu, terlintas
dua pertanyaan besar di benak saya. “Bagaimana seharusnya para suami
membalas kebaikan para istri mulia itu?” “Apakah dalam Islam, suami
diijinkan meminta pelayanan seperti itu?” Di tengah mencari jawab itu,
saya mendapat telpon dari ibu setengah baya dengan suara yang
terisak-isak, “Pak tolonglah saya. Doakan saya tetap sabar menghadapi
suami yang semalam menghajar saya, sampai darah mengucur dari hidung. Ia
memaksa saya memberi ijin untuk menikah dengan wanita lacur
pilihannya.” Saya kenal betul siapa wanita itu. Secara lahiriyah, saya
tahu benar kesetiaannya kepada suami, dan pengabdiannya seperti budak
melayani majikannya. Ia selalu membawa tissue harum untuk mengusap
keringat di kening suami atau membersihkan sisa makanan di ujung kedua
mulut setelah makan siang.
Karena adanya telpon itu, saya akhirnya
membatalkan mencari jawaban dua pertanyaan di atas. Lebih baik saya
membuat kesimpulan sementara saja, atau mengambil pelajaran dari
fenomena di atas. Bahwa “Kepastian susu dibalas susu hanyalah rumus
akhirat.” Sedangkan rumus dunia tidak selalu demikian. Tidak jarang kita
menyaksikan atau bahkan merasakan sendiri dalam pengalaman hidup,
“Susu; jelas-jelas susu dibalas dengan air toba”. Saya benar-benar
belum konsentrasi mencari jawaban pertanyaan di atas. Mungkin pada waktu
lain, saya baru bisa menyuguhkan jawaban atas dua pertanyaan di atas
ketika kegalauan saya melihat fenomena itu sudah hilang. Saya tutup
saja artikel ini dengan pesan penting untuk diri sendiri dan orang lain
yang memiliki kepekaaan kemanusiaan, bahwa apapun alasannya, perlakuan
yang bertentangan dengan martabat dan kemuliaan wanita harus dihentikan.
Suami yang minta serba dilayani oleh istri sampai hal-hal yang
sekecil-kecilnya adalah bentuk pelecehan kepada istri. Istri yang
dititipkan orang tuanya kepada Anda tidak boleh diperlakukan seperti
pembantu. Ia adalah belahan jiwa. Jika perlakuan tidak manusiawi itu
dipelihara, maka kita telah menyuburkan “perbudakan” baru di rumah
tangga. Ketika Anda mengutuk perbudakan buruh di Tangerang, maukah Anda
mengutuk perbudakan di rumah tangga?. Pesan penting Al Qur’an (QS.
An-Nisa’ ayat 19) harus kita perhatikan, bahwa setiap suami harus
memperlakukan istrinya dengan makruf: menjaga martabat dan kehormatannya
dan mengembangkan senyum untuknya. Al Aswad bertanya kepada Aisyah,
istri Nabi SAW, “Bagaimanakah kehidupan Rasulullah di rumah?” Aisyah
menjawab, “Ia selalu membantu semua pekerjaan rumah tangga. Dan ketika
terdengar suara adzan, dia segera meninggalkan semua pekerjaan untuk
segera shalat.“ (HR Bukhari).
Anda wajib bersyukur jika istri Anda
memiliki cinta, kesetiaan dan semangat pelayanan seperti istri kayu
putih di atas. Tapi, biarlah itu tumbuh dari dirinya sendiri, bukan atas
permintaan atau “instruksi” Anda. Itupun Anda seharusnya menolak
perlakuan yang berlebihan itu. Jika Anda bisa mengaduk kopi sendiri,
mengapa harus istri yang Anda minta melakukannya? Ketika tangan Anda
masih sehat, mengapa harus istri yang Anda suruh mengambilkan sepatu.
Anda harus berkompetisi untuk saling melayani, bukan meminta dilayani.
Itulah penghormatan martabat oleh dan untuk suami istri. Jika kompetisi
itu yang kedepankan, dijamin seratus persen ketegangan suami istri bisa
berkurangi secara drastis. Frekwensi amarah suami istri juga bisa
dikurangi, bahkan bisa dieliminir sama sekali. Silakan memulainya.
Komentar
Posting Komentar