PENTINGNYA PROFESIONALISASI BIMBINGAN
DAN KONSELING BAGI KONSELOR
Disusun
untuk memenuhi tugas mata kuliah Landasan dan Wawasan BK
yang
diampu oleh:
Dr.
Carolina Ligya Radjah, M.Kes
Dra.
Henny Indreswari, M.Pd
Disusun oleh :
Ujang Abdul
Basir, (160111801171)
UNIVERSITAS
NEGERI MALANG
PROGRAM
PASCASARJANA
PROGRAM
STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING
OKTOBER
2016
PENTINGNYA PROFESIONALISASI
BIMBINGAN DAN KONSELING BAGI KONSELOR
A.
Problem
Sensing
Bimbingan dan konseling merupakan
suatu profesi, karena merupakan suatu pekerjaan yang menuntut keahlian dari
para petugasnya. Artinya pekerjaan bimbingan dan konseling tidak bisa dilakukan
oleh orang yang tidak terlatih dan tidak disiapkan secara khusus terlebih
dahulu untuk melakukan pekerjaan itu. Kegiatan bimbingan dan konselling tidak
bisa dilakukan oleh sembarang orang, karena untuk melakukan kegiatan tersebut
dituntut keahlian khusus atau kompetensi sebagai konselor atau ahli dalam
bidang bimbingan dan konseling serta kode etik yang menjadi acuannya (Sofyan S
Wilis, 2007:222). Konselor secara keseluruhan harus mengerti syarat, identitas,
sifat dasar dan wawasan yang harus dimiliki oleh konselor itu sendiri.
Konselor merupakan orang yang
profesional, artinya secara formal mereka telah disiapkan oleh lembaga atau
institusi pendidikan yang berwenang. Dalam proses bimbingan dan konseling,
konselor memang memiliki peranan penting, karena konselor merupaka jabatan yang
penting, oleh karena itu orang yang menjabat sebagai konselor harus mempunyai
dasar pengetahuan, keterampilan dan sikap khusus tertentu dimana pekerjaan itu
diakui oleh masyarakat sebagai suatu keahlian.
Akan tetapi hasil survei Kementrian Pendidikan
Jawa Timur hususnya, pada tahun 2016 ini profesi guru BK atau konselor yang ada
di sekolahan tidak hanya dipegang oleh orang yang benar-benar lulusan sarjana
BK tapi diisi oleh orang-orang yang bukan berlatar belakang pendidikan BK. Data
guru BK di Jawa Timur mulai dari pendidikan
dasar (SD) sampai dengan menengah atas (SMA/SMK) terdapat 4.672 orang yang murni
lulusan BK dan 4. 093 orang yang bukan lulusan BK (Makalah Seminar Nasional BK
2016 tentang profesi binbingan dan
konseling dan tantangannya dalam menghadapi problematika).
Fakta di atas diperkuat oleh pernyataan
Mahmudi yang diungkapkan dalam waktu seminar di UNES, ternyata di lapangan yang
bertindak sebagai guru BK tidak hanya lulusan BK. “Guru elektro, guru
bahasa, dan guru lainya yang bukan dari bidang BK pun menjadi guru BK. Ini juga
menjadi tantangan sekaligus akan menjadi usulan bersama supaya pengadaan guru
BK ke depan lebih selektif lagi
(https://unnes.ac.id/berita/tantangan-menjadi-guru-bk-semakin-berat/).”
Akibat profesi guru BK disekolah saat ini
tidak hanya dipegang oleh orang-orang yang murni lulusan dari BK timbulah
beberapa miskonsepsi dan malpraktek terhadap profesi guru BK dikalangan staf
sekolah bahkan tidak jarang termasuk kepalah sekolahnya sendiri (Munandir, 315).
B.
Problem
Exploration and Analysis
Seorang konselor yang
meyandang profesi sebagai penggerak di bidang bimbingan dan konseling tentu
tidak semerta-merta profesi itu bisa dijalankan oleh siapa saja. Menurut Vollmer
& Mills ( 1991:4) profesi adalah sebuah pekerjaan atau jabatan yang
memerlukan kemampuan intelektual khusus, yang diperoleh melalui kegiatan
belajar dan pelatihan untuk menguasai keterampilan atau keahlian dalam melayani
atau memberikan advis ( nasihat) pada oran lain dengan memperoleh upah atau gaji
dalam jumlah tertentu.
Suatu profesi juga memiliki persyaratan
tertentu, yaitu (1) menuntut adanya keterampilan yang mendasarkan pada konsep
dan teori ilmu pengetahuan yang mendasar, (2) menekankan pada suatu keahlian
dalam bidang tertentu sesuai dengan profesinya, (3) menuntut tingkat pendidikan
yang memadai, (4) menuntut adanya kepekaan terhadap dampak kemasyarakatan dari
pekerjaan yang di laksanakan, (5) memungkinkan perkembangan sejalan dengan
dinamika kehidupan, (6) memiliki kode etik sebagai acuan dalam melaksanakan
tugas dan fungsinya, (7) memiliki objek tetap seperti dokter dengan pasiennya,
konselor dengan kliennya, dan (8) diakui di masyarakat maupun di lembaga karena
memang diperlukan jasanya.
Ketika profesi ini tidak dijalankan oleh
orang yang mempunyai mandat dalam menjalankan proses bimbingan dan konseling
tentu akan menimbulkan problem dalam keprofesionalisasiannya. Jangankan
dilakukan oleh seorang yang bukan ahli dalam bidangnya, seorang yang
benar-benar berada dalam bidang ahlinya pasti ada miskonsepsi dalam pemahaman
tugasnya. Miskonsepsi bimbingan dan konseling adalah pandangan yang salah
tujuan, fungsi dan konsep psikologis. Prayitno (2013)
telah mengidentifikasi 15 kekeliruan pemahaman orang dalam melihat bimbingan
dan konseling, baik dalam tataran konsep maupun praktiknya yang tentunya sangat
mengganggu terhadap pencitraan dan laju pengembangan profesi ini. Kelima belas
kekeliruan itu adalah:
1. Bimbingan dan konseling disamakan atau dipisahkan sama sekali dari
pendidikan. BK dianggap sama dengan Pengajaran sehingga tidak perlu pelayanan
khusus BK, hal ini tidak benar karena BK menunjang proses pendidikan peserta
didik dan para pelaksananya (Konselor) juga mempelajari Ilmu Pendidikan pada
umumnya sebagai salah satu trilogi profesi konseling.
2. Menyamakan pekerjaan bimbingan dan konseling dengan pekerjaan dokter dan
psikiater.
3. Bimbingan dan konseling dibatasi hanya
menangani masalah-masalah yang bersifat insidental.
4. Bimbingan dan konseling melayani “orang sakit” dan atau “kurang/tidak
normal”.
5. Pelayanan bimbingan dan konseling berpusat
pada keluhan pertama saja.
6. Bimbingan dan konseling menangani masalah
yang ringan saja.
7. Bimbingan dan konseling dibatasi hanya
untuk siswa tertentu saja.
8. Petugas bimbingan dan konseling di sekolah
diperankan sebagai “polisi sekolah”. hal ini terjadi karena konselor/guru pembimbing
diserahi tugas mengusut perkelahian, pencurian, mencari bukti-bukti siswa yang
berkasus, jika anak bermasalah, anak akan masuk ke ruang BK untuk di minta
pertanggung jawabannya, ini adalah pelaksanaan yang salah, guru pembimbing
bukanlah polisi sekolah, yang kerjanya hanya memarahi anak-anak bermasalah. Angapan ini harus diluruskan, konselor
sekolah/guru pembimbing adalah kawan penggiring penunjuk jalan siswa,
memotivasi siswa disekolah.
9. Bimbingan dan konseling dianggap semata-mata sebagai proses pemberian
nasihat. konselor
hendaknya aktif sebgai pusat penggerak BK namun keterlibatan klien sendiri dan
semua pihak adalah kesuksesan dari usaha pelayanan BK.
10. Konselor harus aktif, sedangkan pihak lain harus pasif. konselor
hendaknya aktif sebgai pusat penggerak BK namun keterlibatan klien sendiri dan
semua pihak adalah kesuksesan dari usaha pelayanan BK.
11. Bimbingan dan konseling bekerja sendiri atau harus bekerjasama dengan
ahliatau petugas lain.
12. Menganggap pekerjaan bimbingan dan konseling dapat dilakukan oleh siapa
saja. konselor
hendaknya aktif sebgai pusat penggerak BK namun keterlibatan klien sendiri dan
semua pihak adalah kesuksesan dari usaha pelayanan BK.
13. Menyama ratakan cara pemecahan masalah bagi semua klien.
14. Memusatkan usaha bimbingan dan konseling hanya pada penggunaan instrumentasi.
15. Menganggap hasil pekerjaan bimbingan
dan konseling harus segera terlihat.
Timbul pertanyaan kita bersama, mengapa kesalahpahaman ini terjadi? Ada
beberapa penyebabnya yakni;
1. Kesalahpahaman-kesalahpahaman diatas diakibatkan
karena bidang BK masih tergolong baru dan merupakan produk impor sehingga
menyebabkan para pelaksanaannya dilapangan belum terlalu mengetahui BK secara
menyeluruh (Prayitno: Dasar-dasar bimbingan dan konseling, 2004).
2. Penyebabnya dari konselor itu sendiri. Banyak yang
bukan dari tamatan BK itu sendiri yang menjadi pelaksanan BK, sehingga tidak
efesiennya pelaksanaan BK dilapangan, dan juga pelaksanaan yang belum efesin
dari guru BK itu sendiri, tidak jelasnya program yang akan dijalankan, baik
program harian, mingguan, bulanan maupun semesteran, walaupun dia dari tamatan
BK itu sendiri.
3. Masih belum disepakatinya penggunaan istilah Bimbingan
dan Konseling itu sendiri, di Indonesia masih ada yang menggunakan istilah pelayanan
BP, BK, dan konseling, dan ini juga mempengaruhi persepsi
masyarakat tentang pelayanan yang dilakukan oleh petugas BK dilapangan.
C.
Problem Posing
Adanya miskonsepsi dan malpraktek
terhadap kinerja profesi guru BK mengakibatkan profesionalisasi konselor
mempunyai kesan kurang baik di pandangan peserta didik. Dalam mengatasi hal
tersebut ada beberapa point yang harus benar-benar dipegang oleh oleh orang
yang mempunyai mandat dalam profesi bimbingan dan konseling. Pertama
konselor harus menguasai Trilogi Profesi Konselor, maksudnya yaitu seorang
konselor mampu menguasai (1) komponen dasar keilmuan, (2) komponen substansi
profesi, dan (3) komponen praktik profesi. Ke dua menjalankan profesi
konselor yang bermartabat, maksudnya memberikan pelayanan bermanfaat bagi
kemaslahatan kehidupan secara luas, diselenggarakan oleh orang yang bermandat,
dan diakui secara sehat oleh pemerintah dan masyarakat. Dan ke tiga ada
kerjasama antara lembaga yang menaungi dengan sumber daya manusianya.
D.
Problem
Solving
Sebagai profesi yang handal,
bimbingan dan konseling masih perlu dikembangkan, bahkan diperjuangkan.
Pengembangan profesi bimbingan dan konseling antara lain melalui: Standardisasi Unjuk Kerja Profesional
Konselor. Masih banyak orang yang memandang bahwa pekerjaan dan
Bimbingan dan Konseling dapat dilakukan oleh siapa pun juga, asalkan mampu
berkomunikasi dan berwawancara. Anggapan lain mengatakan bahwa pelayanan
bimbingan dan konseling semata-mata diarahkan kepada pemberian bantuan berkenaan
dengan upaya pemecahan masalah dalam arti yang sempit saja. Ini jelas merupakan
anggapan yang keliru (Prayitno & Erman, 2013).
Sosok utuh kompetensi konselor mencakup
kompetensi akademik dan profesional sebagai satu keutuhan. Kompetensi akademik
merupakan landasan ilmiah dari kiat pelaksanaan pelayanan profesional
bimbingan dan konseling. Kompetensi akademik merupakan landasan bagi
pengembangan kompetensi profesional, yang meliputi: (1) memahami secara
mendalam konseli yang dilayani, (2)
menguasai landasan dan kerangka teoretik bimbingan dan konseling, (3)
menyelenggarakan pelayanan bimbingan dan konseling yang memandirikan, dan (4)
mengembangkan pribadi dan profesionalitas konselor secara
berkelanjutan.
Unjuk kerja konselor sangat dipengaruhi oleh kualitas
penguasaan ke empat komptensi tersebut yang dilandasi oleh sikap, nilai, dan kecenderungan pribadi yang
mendukung. Kompetensi akademik dan profesional konselor secara terintegrasi
membangun keutuhan kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional
(peraturan menteri pendidikan nasional
republik indonesia nomor 27 tahun
2008).
Memperhatikan karakteristik yang menjadi
tuntutan suatu profesi, dapatlah dipahami sepenuhnya bahwa tenaga profesional
perlu dipersiapkan di Perguruan Tinggi, mulai dari pendidikan program
sarjananya sampai dengan program pendidikan profesinya. Aspek-aspek
keintelektualan/ keilmuan, kompetensi dan teknologi operasional, kode etik, dan
aspek-aspek sosialnya seluruhnya dipelajari melalui Program Sarjana Pendidikan
dan Pendidikan Profesi.
Pemahaman tersebut bisa kita jabarkan
dengan memahami poin dibawah ini:
1.
Memahami
Trilogi Profesi Konselor
Untuk menjadi profesional,
profesional dalam bidang apa pun,
seseorang harus menguasai dan memenuhi ketiga komponen trilogi profesi, yaitu
(1) komponen dasar keilmuan, (2) komponen substansi profesi, dan (3) komponen
praktik profesi, sebagaimana gambar berikut:

Komponen
dasar keilmuan memberikan landasan bagi calon tenaga profesional dalam wawasan,
pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap berkenaan dengan profesi yang
dimaksud. Komponen substansi profesi membekali calon profesional apa yang
menjadi fokus dan objek praktis spesifik pekerjaan profesionalnya. Komponen
praktik mengarahkan calon tenaga profesional untuk menyelenggarakan praktik
profesinya itu kepada sasaran pelayanan atau pelanggan secara tepat dan berdaya
guna. Penguasaan dan penyelenggaraan trilogi profesi secara mantap merupakan
jaminan bagi suksesnya penampilan profesi tersebut demi kebahagiaan sasaran
pelayanan. Konselor, yang adalah pendidik (UU No.20 Tahun 2003 Pasal 1 Butir 6),
sebagai tenaga professional dituntut untuk menguasai dan memenuhi trilogi
profesi dalam bidang pendidikan pada umumnya, khususnya bidang konseling, yaitu
:
a.
Komponen Dasar Keilmuan: Ilmu Pendidikan.
b.
Komponen Substansi Profesi: Proses
pembelajaran terhadap pengembangan diri/ pribadi individu melalui modus
pelayanan konseling.
c.
Komponen Praktik Profesi: Penyelenggaraan
proses pembelajaran terhadap sasaran pelayanan melalui modus pelayanan
konseling.
2.
Menjalankan Profesi
yang Bermartabat
Semua ciri
keprofesionalan di atas, apabila trilogi profesi telah dibina dan diaplikasikan
dengan baik melalui pengelolaan berbasis kinerja, maka profesi yang ditampilkan
itu semestinyalah profesi yang bermartabat. Kemartabatan profesi yang
ditampilkan sangat tergantung pada pendidik yang mempersiapkan diri untuk
menjadi tenaga profesional itu (Prayitno, 2008:115). Program Pendidikan Profesi
Konselor (PPK) yang terdiri dari dua tingkat program yang berkesinambungan
(Program Sarjana dan Program Profesi) itu diselenggarakan tidak lain adalah
untuk membina kemartabatan profesi konselor, mengacu kepada kebutuhan akan
pelayanan konseling yang harus dilaksanakan secara profesional dan sesuai pula
dengan peraturan perundangan yang berlaku. Kemartabatan profesi yang
dimaksudkan itu meliputi ciri-ciri bahwa :
a.
Pelayanan profesional yang diselenggarakan
benarbenar bermanfaat bagi kemaslahatan kehidupan secara luas. Sebagaimana
diketahui, kehidupan efektif sehari-hari (KES) merupakan hajat hidup semua
orang dalam kadar yang sangat mendasar dan penting, untuk kepentingan semua
individu. Oleh karenanya, upaya pelayanan konseling, apalagi yang bersifat
formal dan diselenggarakan berdasarkan aturan perundangan, tidak boleh sia-sia
atau terselenggara dengan cara-cara yang salah (malpraktik), melainkan
terlaksana dengan manfaat yang setinggitingginya bagi sasaran pelayanan dan
pihak-pihak lain yang terkait.
b.
Pelayanan profesional
diselenggrakan oleh petugas atau pelaksana yang bermandat. Sesuai dengan
sifatnya yang profesional itu, maka pelayanan yang dimaksud haruslah
dilaksanakan oleh tenaga yang benar-benar dipercaya untuk menghasilkan tindakan
dan produk-produk pelayanan dalam mutu yang tinggi. Program pendidikan sarjana
dan profesi konselor yang terpadu dan sinambung dalam rangka trilogi profesi
merupakan sarana dasar dan esensial untuk menyiapkan pelaksana yang dimaksudkan
itu. Lulusan program pendidikan profesi diharapkan benar-benar menjadi tenaga
profesional handal yang layak memperoleh kualifi kasi bermandat, baik dalam
arti akademik, kompetensi, maupun posisi pekerjaannya.
c.
Pelayanan profesional yang
dimaksudkan itu diakui secara sehat oleh pemerintah dan masyarakat. Dengan
kemanfaatan yang tinggi dan dilaksanakan oleh pelaksana yang bermandat,
pemerintah dan masyarakat tidak ragu-ragu mengakui dan memanfaatkan pelayanan
yang dimaksudkan itu. Peraturan perundangan telah secara umum menyatakan
pentingnya keprofesionalan tenaga pendidik, dalam hal ini konselor, disamping
tenaga pendidiknya seperti guru, yang selanjutnya mudah-mudahan dilanjutkan
dengan pengakuan yang sehat atas lulusan Pendidikan Profesi Konselor dan
pelayanan yang mereka praktikkan. Demikian juga masyarakat diharapkan
memberikan pengakuan secara terbuka melalui pemanfaatan dan penghargaan yang
tingi atas profesi konselor tersebut.
Setelah Trilogi profesi konselor dipahami dan
dijalankan dengan cara bermartabat, tentu tidak akan semurna jika dijalankan
oleh satu pihak saja. Tapi baik lembaga atau organisasi yang mewadahi sebuah
profesi dan SDM yang ada di dalamnya harus ada saling kerjasama antara satu
sama lain (Prayitno & Erman, 2013).
E.
Reflection to
Process and Result
Ketika seorang konselor menguasai trilogi
profesi konselor dan menjalankannya dengan cara yang bermartabat yang mencakup
di dalamnya itu (syarat, identitas dan
sifat dasar yang harus dimiliki seorang konselor) maka akan membuat orang yang
dilayani merasa aman, tentram dan nyaman. Dengan begitu profesionalisasi
konselor akan membawa perubahan ke arah yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Corey,
Gerald. (2009). Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy. Eighth
Edition. Belmont, CA. Brooks/Cole
Direktorat
Jendral Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional. 2007. Penataan Pendidikan Profesional Konselor dan
Layanan Bimbingan dan Konseling Dalam
Jalur Pendidikan Formal. Jakarta.
Kathry
Geldard dan David Geldard, 2011, Keterampilan Praktek Konseling diterjemahkan
oleh Eva Hamdiah, Yogjakarta: Pustaka Pelajar
Munandir,
Program Bimbingan Karier di Sekolah, Departement Pendidikan dan Kebudayaan,
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Proyek Pendidikan Tenaga Akademik,
Jakarta
Prayitno,
2008, Mengatasi Krisis Identitas Profesi Konselor, Tanpa Penerbit.
Prayitno,
Erman Amti, 2013. Dasar-dasar Bimbingan
dan Konseling. Jakarta. Rineka cipta.
MENGATASI
KRISIS IDENTITAS PROFESI KONSELOR
Sofyan
S. Willis, 2007, Konseling Individual (Teori dan Praktek), Bandung: Alfabeta
mantap mas... lanjutkan teruss menulisnya
BalasHapusmantap mas... lanjutkan teruss menulisnya
BalasHapus